Qirā'ah Mu'āşirah Prof. Dr. H. Shofiyullah Muzammil, M.Ag: Dialektika Enam Dimensi Hukum dan Proyeksi Pengembangan Filsafat Hukum Islam
Pendahuluan
Dunia pemikiran hukum Islam senantiasa diwarnai oleh upaya dinamis untuk merespons tantangan zaman tanpa tercerabut dari akar tradisinya. Dalam konstelasi inilah, pidato pengukuhan Guru Besar Profesor Shofiyullah Muzammil, berjudul "Qira'ah Mu’āşirah fi al Ahkām: Mempertemukan Ushul Fiqh dengan Filsafat Hukum dalam Diskursus Hukum Kontemporer,"[1] hadir sebagai sebuah kontribusi intelektual yang signifikan. Karya ini tidak hanya menandai pencapaian akademis personal, tetapi lebih jauh lagi, menawarkan sebuah kerangka kerja metodologis yang segar dan komprehensif untuk pembacaan kontemporer terhadap hukum Islam. Muzammil, melalui gagasan "Qirā'ah Mu'āşirah fi al-Aḥkām," berupaya merumuskan sebuah pendekatan hermeneutis yang mengintegrasikan khazanah uṣūl al-fiqh dengan perspektif filsafat hukum modern, dengan penekanan pada enam dimensi pertimbangan hukum yang saling berdialektika.
Esai ini bertujuan untuk melakukan telaah apresiatif dan kritis terhadap pemikiran sentral Shofiyullah Muzammil tersebut. Fokus utama akan diberikan pada analisis mendalam terhadap konsep "Qirā'ah Mu'āşirah" yang digagasnya, terutama terkait formulasi enam sumber atau dimensi pertimbangan hukum: lex Aeterna, lex divina, lex natura, lex humana, lex socius, dan lex rei sitae/lex situs. Pembahasan akan difokuskan pada tiga aspek fundamental: (1) kontribusi inovatif pemikiran Muzammil dalam memperkaya metodologi filsafat hukum Islam dan menawarkan solusi atas problematika aktual; (2) tantangan-tantangan, baik bersifat teoretis-metodologis maupun praktis-implementatif, yang dihadapi dalam upaya pengembangan dan penerapan gagasan tersebut; dan (3) peluang serta proyeksi pengembangan lebih lanjut dari kerangka pemikiran Muzammil, sehingga mampu memberikan sumbangsih yang lebih luas bagi kemajuan diskursus hukum Islam dan kemaslahatan umat manusia. Melalui analisis ini, diharapkan dapat tergambar secara utuh kedalaman dan relevansi pemikiran Muzammil serta potensi pengembangannya di masa depan.
Membedah "Qirā'ah Mu'āşirah fi al-Aḥkām": Fondasi Pemikiran Shofiyullah Muzammil
Inti dari kontribusi pemikiran Shofiyullah Muzammil terletak pada konsep "Qirā'ah Mu'āşirah fi al-Aḥkām" (Pembacaan Kontemporer terhadap Hukum-Hukum). Istilah ini, sebagaimana diakuinya, terinspirasi dari karya monumental Muhammad Shahrūr, "al-Kitāb wal Qur'an: Qira'ah Mu'āşirah."[2] Namun, Muzammil tidak sekadar mengadopsi, melainkan melakukan adaptasi dan elaborasi yang khas untuk diterapkan dalam domain hukum Islam (fiqh). Jika Shahrūr lebih memfokuskan pembacaan kontemporernya pada teks Al-Qur'an secara umum dengan pendekatan linguistik dan logika modern, Muzammil mengarahkan "qirā'ah mu'āşirah"-nya pada proses penalaran dan penetapan hukum Islam, dengan mempertemukan tradisi uṣūl al-fiqh dengan filsafat hukum.
Fondasi metodologis "Qirā'ah Mu'āşirah" ala Muzammil dibangun di atas dua pilar utama. Pertama, sebuah proses hermeneutika hukum yang terdiri dari empat langkah integral:
- Analisis terhadap sumber-sumber primer: Memulai dengan penelaahan mendalam terhadap lex divina (hukum ilahi yang diwahyukan, terutama Al-Qur'an dan Sunnah) dan lex aeterna (hukum abadi Tuhan yang menjadi sumber segala hukum). Langkah ini menekankan pentingnya otoritas teks suci sebagai titik berangkat yang tidak dapat dinegasikan.[3]
- Konfrontasi dengan realitas: Mempertemukan pemahaman dari sumber primer dengan lex natura (hukum alam yang dapat dijangkau melalui akal budi manusia) dan lex socius (hukum yang mempertimbangkan dinamika, kebutuhan, dan kemaslahatan sosial). Langkah ini menunjukkan kesadaran akan pentingnya konteks dan realitas empiris.
- Identifikasi batasan dan partikularitas: Mengakui adanya lex humana (hukum positif buatan manusia yang mengatur kehidupan masyarakat) dan terutama lex rei sitae/lex situs (hukum yang mempertimbangkan kondisi khusus, unik, atau partikularitas suatu kasus atau situasi). Langkah ini menggarisbawahi perlunya sensitivitas terhadap aspek-aspek spesifik yang mungkin memengaruhi penerapan hukum.[4]
- Upaya pencapaian keadilan fundamental: Berdasarkan dialektika ketiga langkah sebelumnya, berupaya untuk memperjuangkan dan melindungi kesetaraan (equality), kebebasan (liberty), dan kesejahteraan (wealth) yang mendasar, terutama dalam kondisi ketidaksetaraan yang tidak dapat dihindari. Ini mencerminkan orientasi etis yang kuat dalam penalaran hukumnya, yang disebutnya sebagai "Fiqh Ethic."[5]
Pilar kedua, yang menjadi ciri khas pemikiran Muzammil, adalah identifikasi dan integrasi enam jenis sumber atau dimensi pertimbangan hukum. Ia melampaui kategorisasi klasik dengan menambahkan dimensi-dimensi yang secara eksplisit mengakomodasi aspek sosial dan situasional:
- Lex Aeterna: Hukum abadi Tuhan, sumber dari segala hukum.
- Lex Divina: Hukum ilahi yang diwahyukan, termanifestasi dalam Al-Qur'an dan Sunnah.
- Lex Natura: Hukum alam, prinsip-prinsip moral universal yang dapat ditemukan melalui akal budi manusia, sebagaimana diartikulasikan oleh pemikir seperti Thomas Aquinas.[6]
- Lex Humana: Hukum positif buatan manusia, yang harus selaras dengan hukum alam dan hukum Tuhan.
- Lex Socius: Hukum yang lahir dari pertimbangan terhadap dinamika sosial, kebutuhan masyarakat, dan kemaslahatan umum (maṣlaḥah ‘āmmah). Dimensi ini secara eksplisit diangkat Muzammil setelah menelusuri pemikiran al-Ghazālī, al-Shāṭibī, Hasbi Ash-Shiddieqy, dan Yudian Wahyudi.[7]
- Lex Rei Sitae/Lex Situs: Hukum yang mempertimbangkan asas ruang atau situasi posisi yang memiliki norma hukum khusus, atau keadaan khusus yang sangat unik yang memerlukan norma kepastian dalam berbuat. Ini merujuk pada literatur hukum perdata internasional (Akkermans, Naivi) yang diadaptasi Muzammil untuk memperkaya pertimbangan hukum Islam.[8]
Penambahan lex socius dan lex rei sitae secara tegas dalam kerangka ini merupakan inovasi penting. Hal ini memungkinkan penalaran hukum Islam untuk secara sistematis memperhitungkan faktor-faktor kontekstual yang seringkali hanya dibahas secara implisit atau ad hoc dalam pendekatan tradisional. Muzammil memberikan contoh konkret penerapan kerangka ini melalui analisisnya terhadap Fatwa MUI Pusat No. 14 Tahun 2021 tentang Vaksin AstraZeneca. Keputusan "Haram-Mubah" dalam fatwa tersebut, menurutnya, mencerminkan dialektika antara lex divina (keharaman tripsin babi), lex socius (kondisi darurat pandemi dan kebutuhan penyelamatan nyawa), dan lex rei sitae (keterdesakan situasi dan belum adanya alternatif halal yang efektif pada saat itu).[9]
Lebih lanjut, Muzammil mengaitkan pendekatan hermeneutisnya dengan konsep asinonimitas (‘adam al-tarāduf) dan teori batasan (naẓāriyāt al-ḥudūd) Muhammad Shahrūr. Ia melihat bahwa tidak ada tafsir yang sinonim, dan bahwa Tuhan menentukan batasan-batasan (ḥudūd) pelaksanaan syariah. Dalam konteks hukum, ini berarti setiap penetapan hukum adalah sebuah upaya interpretatif yang kontekstual (ḥanīfiyyah), namun tetap harus berada dalam koridor prinsip-prinsip syariah yang fundamental (istiqāmah).[10] Dengan demikian, "Qirā'ah Mu'āşirah fi al-Aḥkām" versi Muzammil menawarkan sebuah metodologi yang berupaya menyeimbangkan antara keteguhan pada prinsip ilahi dan fleksibilitas dalam menghadapi realitas kontemporer.
Kontribusi Pemikiran Shofiyullah Muzammil dalam Peta Filsafat Hukum Islam Kontemporer
1. Artikulasi Metodologi Ijtihad yang Lebih Terstruktur dan Komprehensif
Salah satu kontribusi utama Muzammil adalah menawarkan sebuah artikulasi metodologi ijtihad yang lebih terstruktur dan komprehensif. Dengan merumuskan empat langkah hermeneutis dan enam dimensi pertimbangan hukum, ia menyediakan sebuah kerangka kerja yang lebih eksplisit dibandingkan seruan umum untuk kontekstualisasi hukum Islam. Penekanan pada lex socius dan lex rei sitae secara khusus memberikan landasan teoretis yang lebih kokoh untuk memasukkan analisis sosial, data empiris, dan pertimbangan situasional ke dalam proses istinbāṭ al-aḥkām. Ini sejalan dengan, namun juga memberikan detail operasional lebih lanjut pada, upaya-upaya sebelumnya untuk merevitalisasi maqāṣid al-sharī‘ah agar lebih responsif terhadap tantangan zaman, sebagaimana diadvokasi oleh pemikir seperti Jasser Auda yang menekankan pendekatan sistemik terhadap maqāṣid.[11]
Muzammil membangun argumennya dengan merujuk pada tokoh-tokoh kunci dalam tradisi uṣūl al-fiqh. Ia menyoroti bagaimana Imam al-Shāṭibī telah menggeser kedudukan maqāṣid dari sekadar hikmah di balik hukum menjadi prinsip dasar dalam penetapan hukum.[12] Kerangka enam dimensi Muzammil dapat dilihat sebagai upaya untuk lebih mengoperasionalkan semangat maqāṣid tersebut dengan menyediakan kategori-kategori pertimbangan yang lebih beragam. Hal ini juga beresonansi dengan pandangan Hasbi Ash-Shiddieqy yang menginginkan fiqh yang relevan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, bahkan hingga pada taraf "rekayasa sosial,"[13] serta Yudian Wahyudi yang menekankan adaptasi maqāṣid terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan hak asasi manusia.[14] Dengan demikian, Muzammil tidak hanya menyerukan relevansi, tetapi juga menawarkan "bagaimana" cara mencapainya melalui kerangka analitisnya.
2. Penguatan Landasan Etis dalam Penalaran Hukum Islam melalui "Fiqh Ethic"
Konsep "Fiqh Ethic" yang diperkenalkan Muzammil, yang berorientasi pada pencapaian keadilan fundamental (kesetaraan, kebebasan, dan kesejahteraan) dalam situasi ketidaksetaraan, memberikan penekanan kuat pada dimensi etis dalam penalaran hukum. Ini adalah sebuah upaya untuk memastikan bahwa produk ijtihad tidak hanya absah secara prosedural-tekstual, tetapi juga adil dan maslahat secara substantif. Dengan mengutip John Rawls mengenai "justice as fairness,"[15] Muzammil secara eksplisit menghubungkan diskursus hukum Islam dengan wacana filsafat keadilan kontemporer.
Pendekatan ini menjadi sangat relevan dalam menghadapi dilema etika-hukum yang kompleks di era modern, seperti dalam bidang bioetika, teknologi finansial, atau isu-isu lingkungan. Analisis Muzammil terhadap fatwa vaksin AstraZeneca menunjukkan bagaimana "Fiqh Ethic" dapat bekerja dalam praktik: mempertahankan prinsip lex divina (keharaman) sambil mengakomodasi tuntutan lex socius (kemaslahatan publik dalam darurat) dan lex rei sitae (kondisi spesifik) untuk mencapai putusan yang mubah (diperbolehkan) demi perlindungan jiwa (ḥifẓ al-nafs). Ini melampaui sekadar penerapan kaidah ḍarūrah (keterpaksaan), karena melibatkan pertimbangan multi-dimensi yang lebih holistik. Kontribusi ini sejalan dengan upaya para pemikir Muslim kontemporer seperti Khaled Abou El Fadl yang memperjuangkan interpretasi hukum Islam yang lebih humanis dan berorientasi pada keadilan substantif.[16]
3. Menjembatani Kesenjangan antara Uṣūl al-Fiqh Klasik dan Filsafat Hukum Modern
Upaya Muzammil untuk secara sadar mempertemukan tradisi uṣūl al-fiqh dengan filsafat hukum (baik Barat maupun Islam) merupakan kontribusi penting dalam menjembatani kesenjangan yang seringkali terasa antara kedua domain tersebut. Dengan merujuk pada pemikir seperti Thomas Aquinas untuk membahas lex natura dan lex divina,[17] ia menunjukkan bahwa dialog lintas tradisi pemikiran dapat memperkaya pemahaman hukum Islam. Ini membuka ruang bagi para ahli hukum Islam untuk terlibat secara lebih konstruktif dengan konsep-konsep hukum universal sambil tetap berpijak pada epistemologi Islam.
Integrasi lex humana, lex socius, dan lex rei sitae ke dalam kerangka pertimbangan hukum secara efektif menghubungkan teori hukum Islam dengan realitas hukum positif, dinamika sosial, dan partikularitas kasus yang menjadi perhatian utama dalam studi hukum modern. Hal ini dapat membantu mengatasi kritik bahwa hukum Islam terkadang kurang responsif terhadap perkembangan masyarakat atau terlalu terfokus pada idealitas teks. Sebagaimana dicatat oleh Wael B. Hallaq, sejarah hukum Islam itu sendiri adalah sejarah interaksi dan adaptasi,[18] dan kerangka Muzammil menyediakan alat konseptual untuk melanjutkan tradisi dinamis tersebut secara lebih sadar dan sistematis.
4. Mendorong Pendekatan Interdisipliner dalam Studi Hukum Islam
Secara implisit maupun eksplisit, kerangka enam dimensi Muzammil mendorong pendekatan interdisipliner dalam studi dan praktik hukum Islam. Untuk memahami dan menerapkan lex natura, diperlukan dialog dengan filsafat dan etika. Untuk lex socius, keterlibatan dengan ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, dan ekonomi menjadi niscaya. Untuk lex rei sitae, terutama dalam kasus-kasus teknis (seperti medis atau teknologi), pemahaman terhadap ilmu-ilmu terkait menjadi krusial. Ini menantang para faqīh dan pemikir hukum Islam untuk memperluas cakrawala keilmuan mereka melampaui batas-batas tradisional studi keislaman. Kontribusi ini sangat penting di era di mana persoalan hukum semakin terkait erat dengan berbagai aspek kehidupan yang kompleks dan memerlukan tinjauan dari berbagai perspektif. Hal ini sejalan dengan tren global dalam studi hukum yang semakin mengarah pada interdisiplinaritas untuk menghasilkan pemahaman yang lebih holistik dan solusi yang lebih efektif.[19]
Tantangan dalam Pengembangan dan Implementasi Gagasan "Qirā'ah Mu'āşirah" Shofiyullah Muzammil
Meskipun menawarkan kontribusi yang menjanjikan, pengembangan dan implementasi gagasan "Qirā'ah Mu'āşirah fi al-Aḥkām" yang diusung Shofiyullah Muzammil tidak terlepas dari berbagai tantangan. Tantangan-tantangan ini perlu diidentifikasi dan diatasi agar potensi penuh dari pemikiran ini dapat terealisasi.
1. Tantangan Metodologis dan Epistemologis Internal
Salah satu tantangan utama berasal dari internal diskursus hukum Islam itu sendiri. Pengenalan lex socius dan lex rei sitae sebagai dimensi pertimbangan hukum yang eksplisit, meskipun berakar pada prinsip maṣlaḥah dan pertimbangan ‘urf (adat kebiasaan) atau ḍarūrah dalam tradisi uṣūl al-fiqh, mungkin menghadapi resistensi dari kalangan yang lebih tekstualis atau konservatif. Pertanyaan mengenai bobot dan batasan otoritas kedua leges ini dalam hubungannya dengan lex divina akan menjadi perdebatan krusial. Bagaimana memastikan bahwa pertimbangan sosial dan situasional tidak mengarah pada relativisme hukum yang berlebihan atau mengabaikan prinsip-prinsip syariah yang fundamental (thawābit)? Muzammil sendiri menyinggung pentingnya menjaga istiqāmah (keteguhan pada prinsip) sambil bersikap ḥanīfiyyah (fleksibel dan kontekstual),[20] namun operasionalisasi keseimbangan ini dalam berbagai kasus konkret memerlukan elaborasi metodologis lebih lanjut.
Tantangan epistemologis juga muncul terkait dengan kualifikasi mujtahid atau ahli hukum yang akan menerapkan kerangka ini. Kemampuan untuk menganalisis lex socius secara akurat memerlukan penguasaan ilmu-ilmu sosial, sementara pemahaman mendalam tentang lex rei sitae dalam konteks teknis (misalnya, medis, teknologi, keuangan) menuntut keahlian spesifik. Ini berarti seorang faqīh kontemporer idealnya perlu memiliki kompetensi interdisipliner yang luas, sebuah standar yang mungkin sulit dipenuhi secara merata.[21] Perdebatan mengenai siapa yang memiliki otoritas untuk melakukan ijtihad dengan kerangka multi-dimensi ini juga bisa menjadi kompleks.
2. Kebutuhan Akan Elaborasi Teoretis dan Operasionalisasi Konsep
Meskipun Muzammil telah meletakkan dasar yang kuat, beberapa konsep dalam kerangka "Qirā'ah Mu'āşirah"-nya memerlukan elaborasi teoretis dan panduan operasional yang lebih detail. Misalnya, bagaimana mekanisme pembobotan (tarjīḥ) dilakukan ketika terjadi potensi ketegangan antara keenam dimensi hukum tersebut? Dalam kasus fatwa AstraZeneca, lex divina (keharaman) pada awalnya tampak bertentangan dengan lex socius (kebutuhan darurat). Meskipun fatwa akhirnya menemukan jalan keluar, diperlukan kriteria yang lebih jelas untuk menavigasi konflik antar-dimensi ini dalam kasus-kasus lain yang mungkin lebih ambigu.
Konsep "Fiqh Ethic" yang berorientasi pada pencapaian kesetaraan, kebebasan, dan kesejahteraan juga memerlukan pendefinisian yang lebih operasional dalam konteks hukum Islam. Bagaimana prinsip-prinsip etis ini diterjemahkan ke dalam norma-norma hukum yang konkret? Bagaimana mengukur "kesejahteraan" atau "kesetaraan" dari perspektif Islam yang mungkin memiliki nuansa berbeda dari pemahaman liberal sekuler, meskipun Muzammil merujuk pada Rawls?[22] Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan perlunya penelitian lanjutan untuk memperdalam dan mempertajam aspek-aspek teoretis dari gagasan Muzammil.
3. Tantangan Institusionalisasi dan Pendidikan Hukum Islam
Untuk menerapkan kerangka pemikiran Muzammil secara efektif, diperlukan perubahan dalam sistem pendidikan hukum Islam. Kurikulum di banyak fakultas syariah atau hukum Islam masih cenderung didominasi oleh pendekatan tradisional yang kurang memberikan ruang bagi studi interdisipliner atau analisis sosial-empiris yang mendalam. Mengintegrasikan pemahaman tentang lex socius dan lex rei sitae secara sistematis ke dalam pendidikan calon ahli hukum Islam adalah sebuah tantangan institusional yang besar. Ini memerlukan pengembangan materi ajar baru, pelatihan bagi para pengajar, dan mungkin juga restrukturisasi kurikulum.[23]
Selain itu, lembaga-lembaga fatwa dan peradilan agama juga perlu dibekali dengan kapasitas untuk menerapkan pendekatan multi-dimensi ini. Hal ini mungkin memerlukan pelatihan tambahan bagi para hakim dan mufti, serta akses terhadap ahli dari berbagai bidang ilmu untuk memberikan masukan dalam kasus-kasus yang kompleks. Tanpa dukungan institusional yang memadai, gagasan sebagus apapun akan sulit untuk diimplementasikan secara luas.
4. Resistensi Sosio-Kultural dan Politis
Pada level masyarakat, gagasan pembacaan kontemporer terhadap hukum Islam seringkali menghadapi resistensi dari kelompok-kelompok yang memahami agama secara lebih literal atau menganggap setiap upaya pembaruan sebagai ancaman terhadap kemurnian ajaran. Upaya untuk memasukkan pertimbangan lex socius yang dinamis atau lex rei sitae yang partikular mungkin dianggap sebagai upaya untuk "melunakkan" hukum Tuhan atau tunduk pada tekanan modernitas. Mengkomunikasikan kompleksitas dan justifikasi dari pendekatan Muzammil kepada audiens yang lebih luas, di luar kalangan akademisi, adalah sebuah tantangan tersendiri.
Dalam konteks politik, terutama di negara-negara di mana hukum Islam memiliki peran formal, upaya untuk menerapkan pendekatan ijtihad yang lebih fleksibel dan kontekstual dapat dipengaruhi oleh kepentingan politik atau ideologi tertentu. Politisasi hukum Islam dapat menghambat pengembangan pemikiran yang kritis dan independen, termasuk implementasi gagasan seperti yang ditawarkan Muzammil.[24]
Peluang dan Proyeksi Pengembangan Lanjutan Pemikiran Shofiyullah Muzammil
Terlepas dari berbagai tantangan yang ada, pemikiran Shofiyullah Muzammil mengenai "Qirā'ah Mu'āşirah fi al-Aḥkām" membuka berbagai peluang dan memiliki proyeksi pengembangan yang sangat menjanjikan. Optimalisasi peluang ini dapat memperkaya khazanah filsafat hukum Islam dan meningkatkan relevansinya dalam menjawab persoalan zaman.
1. Pengembangan Teoretis dan Metodologis yang Lebih Mendalam
Kerangka enam dimensi hukum yang diajukan Muzammil menyediakan fondasi yang subur untuk pengembangan teoretis lebih lanjut. Penelitian masa depan dapat difokuskan pada:
- Elaborasi Interaksi Antar-Dimensi Hukum: Mengkaji lebih dalam mengenai sifat hubungan (hierarkis, dialektis, komplementer) antara lex divina, lex aeterna, lex natura, lex humana, lex socius, dan lex rei sitae. Bagaimana mekanisme resolusi konflik atau harmonisasi di antara dimensi-dimensi ini dapat dirumuskan secara lebih sistematis?[25]
- Pengembangan Indikator untuk Lex Socius dan Lex Rei Sitae: Merumuskan parameter atau indikator yang lebih konkret untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi lex socius (misalnya, melalui survei sosial, analisis data statistik, kajian antropologis) dan lex rei sitae (misalnya, melalui konsultasi ahli, studi kasus mendalam). Ini akan meningkatkan objektivitas dan keterukuran dalam penerapan kedua dimensi ini.
- Studi Komparatif Internal dan Eksternal: Melakukan studi komparatif terhadap bagaimana konsep-konsep yang serupa dengan lex socius (misalnya, istiḥsān bi al-‘urf, maṣāliḥ mursalah) dan lex rei sitae (misalnya, pertimbangan ḥājah, ḍarūrah khāṣṣah) telah dioperasionalkan dalam sejarah yurisprudensi Islam oleh berbagai mazhab atau pemikir. Selain itu, melanjutkan dialog komparatif dengan tradisi filsafat hukum lain, sebagaimana telah dirintis Muzammil dengan merujuk Aquinas dan Rawls, untuk mencari titik temu dan inspirasi metodologis.
2. Aplikasi pada Spektrum Isu Kontemporer yang Lebih Luas
Kerangka "Qirā'ah Mu'āşirah" Muzammil memiliki potensi besar untuk diterapkan pada berbagai isu kontemporer yang belum secara eksplisit dibahas dalam pidatonya. Beberapa area yang sangat relevan antara lain:
- Etika Kecerdasan Buatan (AI) dan Teknologi Digital: Bagaimana keenam dimensi hukum tersebut dapat memandu perumusan etika dan hukum Islam terkait pengembangan AI, privasi data, keamanan siber, dan dampak sosial teknologi digital?[26] Lex socius akan sangat krusial dalam menilai dampak sosial AI, sementara lex rei sitae dapat relevan dalam kasus-kasus spesifik penggunaan teknologi.
- Hukum Lingkungan Islam: Menggunakan kerangka ini untuk mengembangkan yurisprudensi lingkungan (fiqh al-bī’ah) yang komprehensif, di mana lex natura (keseimbangan alam), lex divina (amanah kekhalifahan), dan lex socius (dampak kerusakan lingkungan terhadap masyarakat) menjadi pertimbangan sentral.[27]
- Keadilan Ekonomi dan Keuangan Inklusif: Menerapkan "Fiqh Ethic" Muzammil untuk mengevaluasi dan mengembangkan produk serta sistem keuangan syariah agar lebih berorientasi pada keadilan distributif, inklusivitas, dan kesejahteraan sosial, melampaui sekadar kepatuhan formal.
- Hak Asasi Manusia dan Kewarganegaraan: Mengeksplorasi bagaimana dialektika enam dimensi hukum dapat berkontribusi pada perumusan konsep hak asasi manusia dan kewarganegaraan (muwāṭanah) yang berakar pada nilai-nilai Islam namun tetap responsif terhadap standar internasional dan konteks masyarakat majemuk.
3. Transformasi Pendidikan Hukum Islam dan Pembentukan Mujtahid Kontemporer
Gagasan Muzammil dapat menjadi katalisator untuk reformasi pendidikan hukum Islam. Kurikulum dapat dirancang ulang untuk:
- Mengintegrasikan Studi Interdisipliner: Memasukkan mata kuliah atau modul yang membekali mahasiswa dengan pemahaman dasar ilmu-ilmu sosial, filsafat, etika, dan bahkan sains dasar yang relevan untuk menganalisis lex natura, lex socius, dan lex rei sitae.
- Melatih Keterampilan Hermeneutika Kritis: Mengajarkan mahasiswa tidak hanya untuk menghafal teks-teks klasik, tetapi juga untuk mengembangkan kemampuan analisis kritis, penalaran logis, dan hermeneutika hukum yang dinamis sebagaimana dicontohkan Muzammil.
- Studi Kasus dan Pembelajaran Berbasis Masalah: Menggunakan studi kasus kontemporer (seperti analisis fatwa vaksin) sebagai metode pembelajaran utama untuk melatih mahasiswa menerapkan kerangka enam dimensi hukum dan "Fiqh Ethic" dalam situasi nyata. Dengan demikian, diharapkan akan lahir generasi baru mujtahid atau ahli hukum Islam yang memiliki kedalaman pemahaman tradisi sekaligus keluasan wawasan kontemporer.
4. Penguatan Peran Filsafat Hukum Islam dalam Kebijakan Publik dan Advokasi
Pemikiran Muzammil, khususnya penekanannya pada lex socius dan "Fiqh Ethic," memiliki implikasi penting bagi peran hukum Islam dalam perumusan kebijakan publik. Filsafat hukum Islam yang dikembangkannya dapat menjadi landasan untuk:
- Memberikan Masukan Kritis terhadap Legislasi: Menawarkan perspektif Islam yang konstruktif dan kontekstual dalam proses penyusunan undang-undang atau peraturan daerah, terutama yang berkaitan dengan isu-isu sosial, ekonomi, dan etika.
- Advokasi Keadilan Sosial: Menggunakan "Fiqh Ethic" sebagai dasar untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak pada kelompok marginal, mempromosikan kesetaraan akses terhadap sumber daya, dan mengurangi kesenjangan sosial.
- Dialog Publik yang Lebih Inklusif: Menyajikan argumen hukum Islam dengan bahasa yang lebih mudah diakses dan dipahami oleh publik yang lebih luas, termasuk para pembuat kebijakan dan masyarakat sipil non-spesialis, sehingga dapat mendorong partisipasi yang lebih bermakna dalam diskursus publik mengenai peran agama dalam kehidupan bernegara.
Dengan memanfaatkan peluang-peluang ini, pemikiran Shofiyullah Muzammil dapat berkembang menjadi sebuah mazhab pemikiran atau setidaknya pendekatan yang berpengaruh dalam studi dan praktik hukum Islam di Indonesia dan bahkan di tingkat global.
Kesimpulan
Pemikiran Shofiyullah Muzammil mengenai "Qirā'ah Mu'āşirah fi al-Aḥkām," yang terartikulasi melalui kerangka hermeneutika empat langkah dan dialektika enam dimensi pertimbangan hukum (lex Aeterna, lex divina, lex natura, lex humana, lex socius, lex rei sitae), menandai sebuah lompatan konseptual yang penting dalam diskursus filsafat hukum Islam kontemporer. Kontribusinya tidak hanya terletak pada upaya mempertemukan tradisi uṣūl al-fiqh dengan filsafat hukum modern, tetapi lebih fundamental lagi, pada perumusan sebuah metodologi ijtihad yang lebih terstruktur, komprehensif, dan responsif terhadap kompleksitas zaman. Penekanan pada lex socius dan lex rei sitae, serta pengenalan konsep "Fiqh Ethic," menunjukkan komitmen yang kuat untuk menjadikan hukum Islam sebagai instrumen keadilan dan kemaslahatan yang aktual.
Namun, sebagaimana gagasan besar lainnya, pemikiran Muzammil juga dihadapkan pada serangkaian tantangan, mulai dari aspek metodologis-epistemologis internal, kebutuhan akan elaborasi teoretis dan operasionalisasi konsep, hingga kendala institusionalisasi dan resistensi sosio-kultural. Tantangan-tantangan ini bukanlah penghalang absolut, melainkan agenda penelitian dan pengembangan yang perlu dijawab secara kolektif oleh komunitas akademis dan praktisi hukum Islam.
Di balik tantangan tersebut, terbentang peluang yang luas untuk pengembangan lebih lanjut. Elaborasi teoretis, aplikasi pada spektrum isu kontemporer yang lebih beragam, transformasi pendidikan hukum Islam, dan penguatan peran filsafat hukum Islam dalam kebijakan publik adalah beberapa di antara proyeksi menjanjikan yang dapat dibangun di atas fondasi pemikiran Muzammil. Pada akhirnya, "Qirā'ah Mu'āşirah fi al-Aḥkām" menawarkan sebuah jalan bagi hukum Islam untuk terus berdialog secara kreatif dengan perubahan, meneguhkan relevansinya sebagai pedoman hidup yang ṣāliḥ li kulli zamān wa makān (sesuai untuk setiap waktu dan tempat), dan mewujudkan misinya sebagai raḥmatan li al-‘ālamīn. Ikhtiar intelektual Shofiyullah Muzammil ini layak diapresiasi dan, yang lebih penting, dilanjutkan serta dikembangkan demi masa depan peradaban Islam yang lebih mencerahkan.
Daftar Pustaka
- Shofiyullah
Muzammil, Qira'ah Mu’āşirah fi al Ahkām: Mempertemukan Ushul Fiqh
dengan Filsafat Hukum dalam Diskursus Hukum Kontemporer (Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga, 2025). Pidato ini disampaikan pada 06 Mei 2025.
- Muzammil,
Qira'ah Mu’āşirah, 2, merujuk pada Muhammad Shahrūr, Al-Kitāb wa
Al-Qur’an: Qirā’ah Mu‘āṣirah (Damaskus: al-Ahālī li al-Ṭibā‘ah wa
al-Nashr wa al-Tawzī‘, 1990).
- Muzammil,
Qira'ah Mu’āşirah, 3, 9-10.
- Muzammil,
Qira'ah Mu’āşirah, 3, 7, 9-10.
- Muzammil,
Qira'ah Mu’āşirah, 8, 10.
- Muzammil,
Qira'ah Mu’āşirah, 3, mengutip Thomas Aquinas, Summa Theologiae
(1265-1274).
- Muzammil,
Qira'ah Mu’āşirah, 4, 6-7. Referensi mencakup al-Ghazālī, al-Shāṭibī,
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam (1975), dan Yudian
Wahyudi, Tajdīd-Tajdīd Prof Drs KH Yudian Wahyudi MA PhD Mem 'Pancasila
kan Al Asmā' (2022).
- Muzammil,
Qira'ah Mu’āşirah, 7, merujuk pada Brams Akkermans, "Lex Rae
Sitae in perspective: National Development of a Common Rule?" Masstricht
European Private Law Institute Working Paper No 2112/14 (2012) dan
Naivi Chikoc Barreda, Succesion Internationale et Dispositions
speciales de la lex rei sitae (L'Harmattan, Canada, 2022).
- Muzammil,
Qira'ah Mu’āşirah, 2, 7-8. Lihat juga analisis lebih detail dalam
Shofiyullah Muzammil, "Phronesis Dimension (Al-Syu'ūr Al-Fadillah) As
A New Manhaj Of Contemporary Fiqh: Case Study of Central MUI Fatwa No. 14
of 2021 and East Java MUI Fatwa No. 1 of 2021 on the Law of AstraZeneca's
COVID-19 Vaccine Products," Journal of Asian Wisdom and Islamic
Behavior 1, no. 2 (2023): 104-119.
- Muzammil,
Qira'ah Mu’āşirah, 9-10, 11.
- Jasser
Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems
Approach (London: The International Institute of Islamic Thought,
2008), 35-50. Auda juga menekankan perlunya perluasan maqāṣid untuk
mencakup isu kontemporer.
- Muzammil,
Qira'ah Mu’āşirah, 5, merujuk pada pandangan Imam al-Shāṭibī dalam al-Muwāfaqāt
fī Uṣūl al-Sharī‘ah.
- T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1975), sebagaimana dikutip dalam Muzammil, Qira'ah Mu’āşirah, 6.
- Yudian
Wahyudi, Maqāṣid Sharī‘ah dalam Pergumulan Politik: Berfilsafat Hukum
Islam Dari Harvard Ke Sunan Kalijaga (Yogyakarta: Nawesea, 2007),
sebagaimana dirujuk dalam Muzammil, Qira'ah Mu’āşirah, 6.
- Muzammil,
Qira'ah Mu’āşirah, 8, mengutip John Rawls, Justice as Fairness:
A Restatement, ed. Erin Kelly (Cambridge, MA: The Belknap Press of
Harvard University Press, 2001).
- Khaled
Abou El Fadl, Reasoning with God: Reclaiming Shari'ah in the Modern Age
(Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2014).
- Muzammil,
Qira'ah Mu’āşirah, 3.
- Wael
B. Hallaq, An Introduction to Islamic Law (New York: Cambridge
University Press, 2009), 1-15.
- Sebagai
contoh, lihat perkembangan dalam socio-legal studies yang menekankan
pentingnya konteks sosial dalam memahami hukum. Roger Cotterrell, The
Sociology of Law: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Oxford University
Press, 1992). Meskipun bukan spesifik Islam, tren ini relevan.
- Muzammil,
Qira'ah Mu’āşirah, 9, 11.
- Untuk
diskusi mengenai tantangan ijtihad di era modern, lihat misalnya, Tariq
Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation (New York:
Oxford University Press, 2009).
- Pertanyaan
tentang universalitas dan partikularitas nilai keadilan adalah tema
sentral dalam filsafat politik kontemporer. Lihat Amartya Sen, The Idea
of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009) yang
menawarkan kritik dan pengembangan atas teori Rawls.
- Peran
pendidikan hukum Islam dalam merespons tantangan kontemporer dibahas
misalnya oleh Abdullahi Ahmed An-Na'im, "The Future of Shari'ah and
the Debate in Muslim Majority Countries," dalam Shari'ah: Islamic
Law in the Contemporary Context, ed. Abbas Amanat dan Frank Griffel
(Stanford: Stanford University Press, 2007), 217-237.
- Ovamir
Anjum, "Islam as a Discursive Tradition: Talal Asad and His
Interlocutors," Comparative Studies of South Asia, Africa and the
Middle East 27, no. 3 (2007): 656-672, membahas bagaimana tradisi
diskursif Islam dapat dipengaruhi oleh kekuasaan dan politik.
- Pengembangan
metodologi maqāṣid yang lebih sistematis menjadi fokus banyak sarjana
kontemporer. Lihat misalnya, Felicitas Opwis, Maṣlaḥa and the Purpose
of the Law: Islamic Discourse on Legal Change from the 4th/10th to
8th/14th Century (Leiden: Brill, 2010), yang menelusuri perkembangan
historis konsep maṣlaḥah.
- Isu
etika AI dari perspektif Islam mulai banyak dibahas. Lihat misalnya,
Yasien Mohamed, "Islamic Ethics and the Implications of Artificial
Intelligence," Journal of Religion and Health 59, no. 5 (2020):
2243-2258.
- Pemikiran
mengenai etika lingkungan Islam telah berkembang pesat. Lihat misalnya,
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York:
Oxford University Press, 1996) dan karya-karya lebih baru yang
mengaplikasikan prinsip Islam pada krisis ekologi kontemporer.